Kamis, 19 Februari 2009

cerpen: SEBUAH PERSAHABATAN

Mendung menggelayuti kota ku beberapa hari ini. Angin bertiup dengan kencangnya, seakan ingin menerbangkan segala benda yang ada di muka bumi ini. Hujan besar pun kadang terjadi dengan di selingi gelegar petir yang sambar-menyambar dengan ganasnya, menggetarkan hati yang mendengarnya. Semua hal itu seakan memberikan sebuah pertanda buruk bagi Muti.
Siang ini hujan tak henti-hentinya turun, padahal Muti ada janji dengan teman-teman seangkatan. Muti berpikir seandaiya ia menyetujui saja ajakan ayahnya untuk ikut, tapi Muti menolaknya karena ia memilih pergi naik motor bebeknya saja agar tidak merepotkan ayahnya, namun tak diduga sekitar pukul 10 pagi hujan turun dengan derasnya. Setelah berikir cukup lama ia un menghubungi salah seorang temannya. Telepon pun terhubungi.
“Tuuut… Tuuut….”
“Halo, kenapa Mut?” Kata suara diseberang sana.
“Tami, bisa jemput aku gak?” Tanya Muti pada temannya yang bernama Tami.
“Aduh Mut, bukannya Tami gak mau, tapi tadi Tami juga dijemput sama Andre”
“Oh gitu… ya udah, makasih ya Mi”
“Tapi gak papakan Mut?”
“Iya, gak papa kok… Daaah.”
“Klik” telpon pun dimatikan
Muti pun kembali berpikir, meminta bantuan siapa lagi dia. Akhirnya setelah beberapa lama dia pun menemukan ide.
“Minta tolong Bima aja” Muti pun langsung menuju rumah sahabatnya itu.
Sesampai di rumah Bima, Muti langsung mengetuk kamar Bima dan memanggil-manggil Bima.
“Bima…. Bima…. Bangun donk!”
“Huh… Ada apaan sih Mut, ganggu orang tidur aja” Kata Bima dengan tampang awut-awutan.
“Anterin aku ke rumah Dini donk…” Kata Muti sambil memelas.
Tak beberapa lama, ibu Bima keluar dari dapur dan menyapa Muti.
“Eh, Muti sayang, ada apa?”
“Gini tante, Muti mau minta tolong sama Bima buat dianterin ke rumah Dini, soalnya ayah lagi pergi tante”
“Ya udah… Tunggu Bima mandi dulu ya”
“Bima cepat mandi, abis itu anterin Muti” Kata ibu Bima kepada Bima sambil masuk ke dapur.
“Iya ma” Jawab Bima dari dalam kamar.
****
Keluarga Bima dan keluarga Muti sangat akrab, mereka seperti sebuah keluarga besar. Mereka bertetangga sejak kedua orang tua Bima dan kedua orang tua Muti baru menikah. Muti itu sudah seperti anak sendiri bagi orang tua Bima, begitu juga Bima yang dianggap seperti anak sendiri oleh orang tua Muti. Kadang-kadang Bima dan Dimas adiknya akan menginap di rumah Muti apabila orang tua mereka bepergian. Umur Muti dan Bima hanya selisih jam saja. Karena itu mereka sangat akrab. Bahkan dari TK hingga SMA mereka selalu satu sekolah.
****
Akhirnya setelah menunggu Bima selesai mandi dan makan, Bima pun mengantar Muti ke rumah Dini di iringi gelegar petir. Sesampainya di rumah Dini, teman-teman mereka telah banyak yang datang.
“Eh Muti, datang juga ya kamu akhirnya” Kata Dini sang tuan rumah sambil menghampiri Muti dan Bima.
“Iya nih, maaf ya telat, soalnya tadi gak ada yang nganter, tapi untung ada Bima” Kata Muti sambil menyenggol Bima, namun Bma hanya tersenyum.
Dengan memasang wajah terkejut, Dini berkata,
“Bima? Ini Bima yang badannya kecil dan ceking itu?”
“Iya, emang kenapa? Kok kaget gitu?” Jawab Muti Muti bingung, sedangkan Bima yang punya badan cuma tersenyum masam.
“Eng…kok yang sekarang jadi cakep banget?...”
“… terus sekarang badannya jadi keren kayak gini” Kata Dini sambil memandang Bima dari atas sampai ke bawah.
“Dini, semua orang kan bisa berubah. Iya kan Bim?” Kata Muti.
“Iya donk… aku kan juga mau keren” Jawab Bima.
“Ya udah dech, terserah … Ayo kita masuk” Kata Dini sambil tertawa.
Akhirnya Muti dan Dini masuk ke dalam untuk rapat bersama teman-teman yang lain, sedangkan Bima meminta izin untk ke kamar kecil terlebih dahulu.
****
“Muti, ingat ya minggu depan kita harus ngumpul lagi buat ngatur persiapan renian oh ya Bima, kapan-kapan telepon aku donk” Kata Dini saat Muti dan Bima hendak pulang.
“Insya Allah” Jawab mereka bersamaan.
Diperjalanan pulang, Muti mulai menggoda Bima tentang Dini.
“Ehem… Kayaknya Dini suka tuh sama kamu”
“Kata siapa? Sok tau dech kamu” jawab Bima yang sedang menyetir mobil menjawil telinga Muti.
“Emm… Dari pandangan matanya” kata Muti sambil mengedip-ngedipkan matanya yang berbulu lentik itu.
“Ah masa? Boong nich”
“Beneran, kan aku cewek, makanya tau”
“Oh, kamu cewek ya ternyata?” kata Bima sambil tertawa.
Akhirnya mereka saling cubit, saking asyiknya bercanda mereka tak menyadari ada sebatang pohon besar yanghendak roboh. Saat mereka melewati pohon tersebut, tiba-tiba pohon itu roboh dan menimpa mobil yang dikendarai Bima dan Muti. Untunglah saat itu ada mobil yang lewat dan melarikan mereka berdua ke rumah sakit terdekat.
***
Telah dua jam orang tua Muti dan Bima menunggu kabar keadaan anak mereka di depan ruang UGD, hingga ada salah seorang dokter keluar dari ruangan itu,
“Bagaiman keadaan anak kami dok?” tanya mereka bersamaan.
“Yang laki-laki hanya mengalami benturan dikepala, tapi…” kata dokter itu terputus.
“Tapia pa dok?” tanya orang tua Bima.
“Kami baru mengetahui bahwa anak bapak dan ibu mengalami kanker otak stadium akhir dan kami rasa umurnya tidak lama lagi. Sedangkan yang perempuan mengalami kebutaan dan sekarang ia dalam keadaan koma” kata dokter itu sambil berlalu. Sedangkan kedua keluarga itu langsung menangis dan meratapi nasib anak-anaknya.
****
Seorang gadis remaja berlari-lari kecil mengelilingi sebuah ruangan ruangan yang sangat luas berwarna putih, namun di sana ia merasa sangat hampa seakan tak berjiwa. Gadis itu berlari-lari, ia terus mancari-cari pintu untuk ke luar dari sana. Saat ia berlari-lari, ada seseorang yang menepuk bahunya dan berkata,
“Muti tenanglah, aku ada di sini untuk membantumu”
Gadis bernama Muti itu pun menoleh dan memandang orang itu dan ia pun berkata,
“Bima, aku ingin keluar dari sini, di sini sangat hampa, aku ingin pulang”
Ternyata orang itu adalah Bima, sahabat Muti dari kecil, wajahnya sangat pucat dan dipenuhi kesedihan yang tiada tara.
“Iya, aku akan mengantarkanmu pulang”
“Tapi kamu juga ikut pulangkan?” kata Muti pada Bima, namun tak ada jawaban dari Bima dan Muti melihat secercah cahaya yang semakin membesar.
****
Perlahan Muti membuka mata. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Dipandangnya orang-orang yang ada didekat ranjangnya tersebut, ada orang tuanya, orang tua Bima dan adiknya Bima. Mereka semula kelihatan murung dan dimana Bima?
“Tante, Bima mana? Kok dari tadi aku gak liat Bima?” tanya Muti pada ibunya Bima.
Sambil terisak beliau menjawab,”Bima sudah pergi sayang”
“Ke mana tante?”
“Ke tempat yang paling damai”
“Maksud tante apa? Tanya Muti bingung.
Sambil menangis beliau berusaha menjelaskan,”Bima sudah meninggal karena kanker otak, Bima jga minta maaf karena gak pernah cerita pada kita bahwa dia mengidap kanker otak”
Air mata pun meleleh dari mata Muti dan jatuh pada pipinya yang pucat.
“Kok Bima ninggalin aku sich, Bima tega!!” kata Muti histeris.
Ayah Bima pun mulai menjelaskan pada Muti keadaan sebenarnya,” Muti, Bima tetap ada kok, dia ada di mata kamu…”
“…sebelum pergi, dia meminta kami untuk mendonorkan matanya untuk kamu agar kamu bisa melihat lagi setelah kecelakaan kemarin dan dia berharap kamu selalu mengingat dia sebagai sahabat dan saudara terbaiknya”
Setelah itu kedua keluarga itu berpelukan dan berjanji akan selalu mengingat Bima dan merelakan kepergiannya agar Bima tentram.
****
satu tahun telah berlalu, setelah kepergian Bima. Keluarga Bima pun mengadakan acara satu tahunan ke pergian Bima dengan mengundang anak-anak yatim piatu ke rumah mereka untuk mendo’akan almarhum agar dosa-dosanya terhapuskan oleh Allah SWT.
Setelah acara selesai, Muti memasuki kamar Bima yang masih seperti dulu, kamar itu memang tidak pernah di ubah sejak kepergiannya. Dengan memandang foto Bima, Muti Muti berkata,
“Bima, aku akan selalu menganggap kamu sahabat dan saudara terbaikku, dan sekarang aku tahu apa itu artinya sebuah persahabatan itu”
sambil mengambil sebuah gitar dan menunjukannya kea rah foto Bima, ia kembali berkata,
“Ini gitar yang dulu kamu mau, sekarang aku belikan untuk kamu”
Muti pun meletakkan gitar tersebut di atas tempat tidur Bima di samping Foto Bima. Dan ia pun menuju untuk keluar dari kamar itu, sebelum menutup pintu, ia berkata,
“Aku sayang kamu, sahabatku…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar